Rabu, 03 Februari 2010


SOLIDARITAS KORBAN PELANGGARAN HAM PAPUA

(BUK, IKOHIK2N-P2a, Kontras Papua, Foker LSM, SKP Jayapura, UKM Dehaling Uncen, BPM Fakultas Uncen, Senat USTJ, Senat STFT ,PMKRI, AMPTPI, Front Pepera, Garda-P, Parjal, KNPB, Asrama Ninmin,Asrama Nabire,Asrama Nayak , Asrama Fak – Fak,Asrama Uncen ,Asrama Sorong)





Peringatan Hari Pelanggaran Hak Asasi Manusia Se - Dunia
10 Desember 2009

PRESS RELEASE
“ Hentikan Pemusnahan Manusia dan Alam Papua ”

Mencermati kondisi hak asasi manusia di Papua, sejak tahun 1960 – an sampai saat ini, belum ada Penegakan hukum dan HAM, baik di Dunia Internasional, Nasional dan di Tanah Papua. Di mana Hak Asasi Manusia merupakan hak yang sangat melekat pada manusia dan budaya masyarakat manusia itu sendiri. Hal ini semuanya menjadi aspek yang sangat penting dan mendasar baik di bidang sipil, politik , ekonomi, sosial dan budaya. ini bukan bagian dari hak – hak nasional right yang harus di batasi oleh Negara, baik lembaga vertical dan horizontal yang dilakukan secara lansung dan tidak lansung di Indonsia. Pemerintah Indonesia belum memenuhi prinsip-prinsip Negara hukum bagi perlindungan, penghormatan dan pemajuan itu sendiri. Pengrafivikasi instrumen-instrumen HAM Internasional yang diwajibkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa ( PBB / United Nations ) masih menjadi alat politik belaka yang setiap saat hanya memenuhi dan menutup rasa malu bahwa Pemerintah Indonesia adalah bagian dari tata politik rekonstruksi global, masyarakat internasional dan kepentingan politik internasional lainnya.

Alam dan Manusia Papua sendiri masih menjadi bagian dari proses rekontruksi politik yang panjang dengan melibatkan PBB, bangsa-bangsa, seperti Inggris, Jerman, Belanda, Jepang, Amerika dan Indonesia dimasa lalu yang perlu diselesaikan karena sudah terjadi pelanggaran HAM yang kompleks dan kritis, bahkan berulang-ulang. Dimana dalam hal ini perlu Kasus-Kasus Pelanggaran HAM di Tanah Papua harus diagendakan dan bahas secara khusus dalam komisi HAM di PBB, bukan menjadi alasan politik nasional rights semata dari Pemerintah Indonesia. Pada dasarnya Indonesia sendiri adalah wali pembangunan 25 (dua puluh lima) tahun sesuai dengan Perjanjian Roma, 30 September 1962 yang berakhir pada 1 Mei 1988. Status Papua terus diperpanjang sampai dengan sekarang, termasuk Otsus 25 (dua puluh lima) tahun.
Akomolasi dan implikasi pembangunan yang berdampak pada kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi selama ini terjadi Tanah Papua, dimana telah menelan banyak korban pelanggaran HAM, baik secara lansung dan tidak langsung yang dilakukan oleh Negara Indonnesia dengan melibatkan PT. Freeport, Perusahaan-Perusahaan Asing lainnya, Nasional dan Lokal terhadap Alam dan Manusia Papua dimasa lalu, sekarang yang terus berkembang dalam kompleks yang sangat tinggi dan kritis. Hak-hak rakyat papua yang dirapas adalah tanah, hutan dan sumber daya alam lainnya. Kerusakan lingkungan hidup dan hilangnya sumberdaya pendukung lingkungan hidup, terutama di Areal PT. Freeport masih sampai dengan sekarang.
Dimana ABRI pada masa yang lalu, TNI dan Polisi untuk masa sekarang dengan bentuk-bentuk kekerasannya adalah DOM; Penghilangan Paksa, Genosida, Suversif dan kejahatan kemanusian lainnya secara nyata dan tidak nyata lewat proses pembagunan yang ada. Operasi-operasi yang dilakukan tersebut diberi nama Operasi Sadar (1965-23 Maret 1966) dipimpin oleh Brigjen R Kartidjo; Operasi Barata Yudha (23 Maret 1966-1967) dipimpin oleh Brigjen R. Bintaro; Operasi Wibawa 1967-1969; Operasi Pamungkas 1969-1971, Pembantaian terhadap masyarakat Dani 1977.

Negara Indonesia dalam membangun Tanah Papua sampai sekarang ini, dimana tidak memberikan pola pembangunan yang baik sampai reformasi di Indonesia sebagai bagian dari proses politik yang menuju kepada krisis penegakan HAM dan Hukum, termasuk dalam Era Otonomi Khusus Di Papua yang bersifat proteksi dan afirmatif. Dimana Pemerintah Indonesia telah membuat UU No. 39 Tahun 1999, UU No. 26 Tahun 2000 Tentang pengadilan HAM.

Kemudian UU Otsus di Propinsi Papua yang memuat tentang Perwakilan Komnas HAM Papua, Pengadilan HAM, Komisi Rekonsliasi dan Kebenaran ( KKR ) harus ditindak lanjut Komisi Hukum Ad Hoc untuk membuat perdasi dan perdasus dalam konteks nasional rights adalah keliru dan tidak benar atau yang terdapat dalam Pasal 32 UU Otsus karena sumber hukumnya adalah sumber hukum Internasional dan berlaku secara universal. Contoh Pengadilan HAM Berat Kasus Abepura, 2000 yang disidangkan di Makasar adalah mimpi buruk bagi para korban Abepura dan korban lainnya di Papua, ini hannya pengadilan pura-pura (sandiwara) ada korban tapi tidak ada pelaku, proses sidang sangat lama dan tertutup, hasilnya secara administratif saja diselesaikan oleh Hakim dan kepada kedua terdakwa Jhonii Wainal Usman dan Daud Sihombing tidak dikenakan hukuman sedikitpun. Pada hal mengorbankan 105 masyarakat sipil dan mahasiswa. Dimana 3 (tiga) orang meninggal dunia saat kejadian dan 7 (tujuh) meninggal karena siksaan keji dan berat dan mengalami pendaraan. Ini sangat jelas, Negara tidak memberikan sangsi hukuman sedikitpun terhadap pelaku kejahatan kemanusiaan itu, malah justru oleh Negara berikan pelaku John Wainal Usman dan Daud Sihombing mendapatkan pemulihan nama baik dan promosi jabatan.

Kasus pelanggaran HAM Abepura Berdarah, 7 Desember 2000, Akan Menjadi Studi Kasus Bagi Semua Kasus-Kasus Pelanggaran HAM lainnnya di Papua” dalam hukum di Indonesia, yaitu Biak Berdarah 1999; Wasior 13 Juni 2001; Wamena Berdarah, 6 Oktober 2000 dan 4 April 2003; Pembunuhan Theys Eluay dan penghilangan Nyawa Aristoteles Masoka, 10 November 2001, Penembakan terhadap Opinus Tabuni 9 Agustus 2008 yang hingga kini Polda Papua belum mengungkap siapa pelakunya; pembunuhan terhadap Melkianus Agapa di Nabire oleh Polisi pada 2009; penembakan beberapa warga Papua pendulang emas di pembuangan tailing di PT Freeport 2006;

Yang baru sekarang adalah stigmanisasi Separatis dan Makar yang diberikan oleh pihak aparat Keamanan kepada Rakyat Papua, seperti penagkapan sewenang-wenang, pengejaran dan penghasutan untuk membatasi gerakan HAM dan Demokrasi di Tanah Papua. Ini dapat terlihat dalam beberapa kasus terakhir ini, seperti Filip Karma, Yusak Pakage, Selfius Bobi dan Kawan-kawan, Buktar Tabuni, Seby Sambon dan Kawan, Musa, Diaz, Yance MTE. Dimana juga kedatangan TNI dan Polisi ke Papua yang terus meningkat, baik pasukan organik maupun non-organik dengan diberengi oleh penambahan kodam-kodam baru di Papua dengan alasan pengamanan. Yang paling parah lagi semua berjalan dalam Otsus yang tidak jelas yang berbagai pemekaran wilayah, 3 (tiga) kodam di Papua dan kepulangan pengungsii dari PNG. Kepulangan pengungsi dari PNG tidak melalui prosedur Hukum Internasional, terutama pengunsi Tahun 1984 yang diserahkan oleh PBB melalui UNHCR di Isawen kepada Pemerintah PNG pada tahun 1992 yang nasibnya tidak jelas sampai sekarang.

Pengamanan ini juga berdimensi kepada pengurasan SDA, baik logam dan non logam dari Alam Papua sehingga ketika rakyat yang memiliki hak ulayatnya akan berbenturan dengan aparat keamanan yang menyebabkan pelanggaran HAM, baik ringan dan berat. Dimana bentuk-bentuknya adalah Perampasan Tanah, Pencurian kayu (Ilegal Loging), Pencurian Ikan (Ilegal Fishing), Pencurian Tambang. Seperti yang sudah dilakukan oleh PT. Freeport, BP LNG Tangguh di Bintuni,dan lain-lain. Penambangan liar lainnya seperti di Degewo, Paniai yang dibiarkan(by omission) oleh Negara yang turut melibatkan kepentingan militer, polisi dan pejabat-pejabat tinggi di Pusat dan Daerah.

Pemerintah tidak mampu memberdayakan orang asli Papua yang malah sistem ekonomi dikuasai oleh orang non-Papua yang mengakibatkan proses diskriminasi semakin meningkat pada tatanan kehidupan rakyat Papua apalagi 72,72% rakyat Papua hidup dibawa garis kemiskinan. Sungguh kejamnya Negara atas hak hidup rakyat Papua, seakan rakyat Papua tidak memiliki nilai kemanusiaan, seakan rakyat Papua bukan manusia yang hak hidupnya harus diperhatikan. Penyempitan ruang pangan lokal asli papua, sehingga masyarakat mengalami ketergantungan dengan beras raskin yang gizinya sangat rendah. Ini adalah kelalaian Pemerintah untuk membengun pertanian, pekebunan dan perikanan yang baik bagi masyarakat papua. Maka terjadi krisis pangan di Tanah Papua.

Berdasarkan hal-hal di atas , kami yang tergabung dalam Solidaritas Korban Pelanggaran HAM Papua, 10 Desember 2009 menuntut dan mendesak :

1. Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations) segera mengeluarkan Resolusi dari Komisii HAM (Human Rights Comission); Komisi Masyarakat Pribumi (Ingenous People Comission) dan Badan Pengunsi Dunia ( UNHRC ) dan Badan-Badan Dunia lainnya sebagai proses rekonstruksi yang berdimensi kemanusian, baik di Papua dan Di luar negeri akibat rekonstruksi politik Papua dimasa lalu, sekarang dan yang akan datang;

2. Alam dan Manusia Papua adalah proses rekonstruksi politik dimasa lalu yang mengorbankan Rakyat Papua sebagai proses integrasi pendidikan, bukan integrasi politik yang melahirkan pelarian politik, pengungsian, genosida, berbagai stigmanisasi, seperti surversif, separatis, makar dan pemerasan SDA harus dihentikan.

3. Negara – Negara dan Perusahaan – Perusahaan Multi Nasional Cooperations yang terlibat dengan rekonstruksi politik papua dimasa lalu harus bertanggung jawab terhadap Alam dan Manusia Papua sebagai proses rekonstruksi kemanusiaan bagi Rakayat Papua sebagai Korban Pelanggaran HAM;


4. Masyarakat internasional harus memperhatikan nasib korban pelanggaran HAM Papua, sebagai proses rekonstruksi yang berdimensi kemanusian, terutama bagi Korban-Korban Pelanggaran HAM.

5. Meninjau kembali semua kebijakan Negara Indonesia dalam membangun rakyat papua, terutama kebijakan eksplotasi Sumber Daya Alam, dan menghentikan pemekaran ( Propinsi, Kota, Kabupaten ) dan Rencana Pembentukan Kodam.


6. DPR Papua dan Gubernur Papua segera menghentikan semua investasi yang merugikan dan menghilangkan hak-hak masyarakat Adat;

7. Mendesak kepada Gubernur, DPR dan Polda Papua, baik di Propinsi Papua dan Propinsi Papua Barat untuk mendorong evaluasi resmi atas kebijakan keamanan di Tanah Papua dan merasionalisasikan jumlah Pasukan Organik dan Non-Organik;


8. DPRP- Papua segera membuat Perdasi dan Perdasus untuk memenuhi Hak – hak korban Pelanggaran HAM Papua sebagai kewajiban negara;

9. DPR Papua Mendesak kepada Pemerintah Pusat untuk membebaskan seluruh Tahanan Politik Papua dan membuat Tim Ad Hoc guna menyelidiki dan tuntaskan kasus-kasus kekerasan dan diskriminasi terhadap Tahanan Politik Papua di seluruh Indonesia;


10. Pemerintah Pusat dan Daerah segera mempersiapkan infrastruktur (fasilitas kesehatan) dan serius melaksanakan Kesehatan Gratis; Pendidikan Gratis untuk memajukan dan meningkatkan produktivitas nilai – nilai budaya Rakyat Papua;

11. Pemerintah Propinsi Papua dan DPRP Papua segera membuat Pasar Tradisional bagi Pedangang Asli Papua sebagai bentuk nyata peningkatan Ekonomi rakyat.

Demikian Pernyataan Sikap Kami, Solidaritas Korban Pelanggaran HAM Papua.

SYUKUR BAGIMU TUHAN...!
KAU BERIKAN TANAHKU, BERI AKU RAJIN JUGA, SAMPAIKAN MAKSUDMU
SELAMAT BERJUANG UNTUK RAKYATMU YANG TERTINDAS.

Jayapura, 10 Desember 2009
HARI HAM SE – DUNIA
Koordinator Umum


PENEAS LOKBERE.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar