Rabu, 03 Februari 2010

Foto kampanye 7 Desember 2009


SOLIDARITAS KORBAN PELANGGARAN HAM PAPUA

(BUK, IKOHIK2N-P2a, Kontras Papua, Foker LSM, SKP Jayapura, UKM Dehaling Uncen, BPM Fakultas Uncen, Senat USTJ, Senat STFT ,PMKRI, AMPTPI, Front Pepera, Garda-P, Parjal, KNPB, Asrama Ninmin,Asrama Nabire,Asrama Nayak , Asrama Fak – Fak,Asrama Uncen ,Asrama Sorong)





Peringatan Hari Pelanggaran Hak Asasi Manusia Se - Dunia
10 Desember 2009

PRESS RELEASE
“ Hentikan Pemusnahan Manusia dan Alam Papua ”

Mencermati kondisi hak asasi manusia di Papua, sejak tahun 1960 – an sampai saat ini, belum ada Penegakan hukum dan HAM, baik di Dunia Internasional, Nasional dan di Tanah Papua. Di mana Hak Asasi Manusia merupakan hak yang sangat melekat pada manusia dan budaya masyarakat manusia itu sendiri. Hal ini semuanya menjadi aspek yang sangat penting dan mendasar baik di bidang sipil, politik , ekonomi, sosial dan budaya. ini bukan bagian dari hak – hak nasional right yang harus di batasi oleh Negara, baik lembaga vertical dan horizontal yang dilakukan secara lansung dan tidak lansung di Indonsia. Pemerintah Indonesia belum memenuhi prinsip-prinsip Negara hukum bagi perlindungan, penghormatan dan pemajuan itu sendiri. Pengrafivikasi instrumen-instrumen HAM Internasional yang diwajibkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa ( PBB / United Nations ) masih menjadi alat politik belaka yang setiap saat hanya memenuhi dan menutup rasa malu bahwa Pemerintah Indonesia adalah bagian dari tata politik rekonstruksi global, masyarakat internasional dan kepentingan politik internasional lainnya.

Alam dan Manusia Papua sendiri masih menjadi bagian dari proses rekontruksi politik yang panjang dengan melibatkan PBB, bangsa-bangsa, seperti Inggris, Jerman, Belanda, Jepang, Amerika dan Indonesia dimasa lalu yang perlu diselesaikan karena sudah terjadi pelanggaran HAM yang kompleks dan kritis, bahkan berulang-ulang. Dimana dalam hal ini perlu Kasus-Kasus Pelanggaran HAM di Tanah Papua harus diagendakan dan bahas secara khusus dalam komisi HAM di PBB, bukan menjadi alasan politik nasional rights semata dari Pemerintah Indonesia. Pada dasarnya Indonesia sendiri adalah wali pembangunan 25 (dua puluh lima) tahun sesuai dengan Perjanjian Roma, 30 September 1962 yang berakhir pada 1 Mei 1988. Status Papua terus diperpanjang sampai dengan sekarang, termasuk Otsus 25 (dua puluh lima) tahun.
Akomolasi dan implikasi pembangunan yang berdampak pada kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi selama ini terjadi Tanah Papua, dimana telah menelan banyak korban pelanggaran HAM, baik secara lansung dan tidak langsung yang dilakukan oleh Negara Indonnesia dengan melibatkan PT. Freeport, Perusahaan-Perusahaan Asing lainnya, Nasional dan Lokal terhadap Alam dan Manusia Papua dimasa lalu, sekarang yang terus berkembang dalam kompleks yang sangat tinggi dan kritis. Hak-hak rakyat papua yang dirapas adalah tanah, hutan dan sumber daya alam lainnya. Kerusakan lingkungan hidup dan hilangnya sumberdaya pendukung lingkungan hidup, terutama di Areal PT. Freeport masih sampai dengan sekarang.
Dimana ABRI pada masa yang lalu, TNI dan Polisi untuk masa sekarang dengan bentuk-bentuk kekerasannya adalah DOM; Penghilangan Paksa, Genosida, Suversif dan kejahatan kemanusian lainnya secara nyata dan tidak nyata lewat proses pembagunan yang ada. Operasi-operasi yang dilakukan tersebut diberi nama Operasi Sadar (1965-23 Maret 1966) dipimpin oleh Brigjen R Kartidjo; Operasi Barata Yudha (23 Maret 1966-1967) dipimpin oleh Brigjen R. Bintaro; Operasi Wibawa 1967-1969; Operasi Pamungkas 1969-1971, Pembantaian terhadap masyarakat Dani 1977.

Negara Indonesia dalam membangun Tanah Papua sampai sekarang ini, dimana tidak memberikan pola pembangunan yang baik sampai reformasi di Indonesia sebagai bagian dari proses politik yang menuju kepada krisis penegakan HAM dan Hukum, termasuk dalam Era Otonomi Khusus Di Papua yang bersifat proteksi dan afirmatif. Dimana Pemerintah Indonesia telah membuat UU No. 39 Tahun 1999, UU No. 26 Tahun 2000 Tentang pengadilan HAM.

Kemudian UU Otsus di Propinsi Papua yang memuat tentang Perwakilan Komnas HAM Papua, Pengadilan HAM, Komisi Rekonsliasi dan Kebenaran ( KKR ) harus ditindak lanjut Komisi Hukum Ad Hoc untuk membuat perdasi dan perdasus dalam konteks nasional rights adalah keliru dan tidak benar atau yang terdapat dalam Pasal 32 UU Otsus karena sumber hukumnya adalah sumber hukum Internasional dan berlaku secara universal. Contoh Pengadilan HAM Berat Kasus Abepura, 2000 yang disidangkan di Makasar adalah mimpi buruk bagi para korban Abepura dan korban lainnya di Papua, ini hannya pengadilan pura-pura (sandiwara) ada korban tapi tidak ada pelaku, proses sidang sangat lama dan tertutup, hasilnya secara administratif saja diselesaikan oleh Hakim dan kepada kedua terdakwa Jhonii Wainal Usman dan Daud Sihombing tidak dikenakan hukuman sedikitpun. Pada hal mengorbankan 105 masyarakat sipil dan mahasiswa. Dimana 3 (tiga) orang meninggal dunia saat kejadian dan 7 (tujuh) meninggal karena siksaan keji dan berat dan mengalami pendaraan. Ini sangat jelas, Negara tidak memberikan sangsi hukuman sedikitpun terhadap pelaku kejahatan kemanusiaan itu, malah justru oleh Negara berikan pelaku John Wainal Usman dan Daud Sihombing mendapatkan pemulihan nama baik dan promosi jabatan.

Kasus pelanggaran HAM Abepura Berdarah, 7 Desember 2000, Akan Menjadi Studi Kasus Bagi Semua Kasus-Kasus Pelanggaran HAM lainnnya di Papua” dalam hukum di Indonesia, yaitu Biak Berdarah 1999; Wasior 13 Juni 2001; Wamena Berdarah, 6 Oktober 2000 dan 4 April 2003; Pembunuhan Theys Eluay dan penghilangan Nyawa Aristoteles Masoka, 10 November 2001, Penembakan terhadap Opinus Tabuni 9 Agustus 2008 yang hingga kini Polda Papua belum mengungkap siapa pelakunya; pembunuhan terhadap Melkianus Agapa di Nabire oleh Polisi pada 2009; penembakan beberapa warga Papua pendulang emas di pembuangan tailing di PT Freeport 2006;

Yang baru sekarang adalah stigmanisasi Separatis dan Makar yang diberikan oleh pihak aparat Keamanan kepada Rakyat Papua, seperti penagkapan sewenang-wenang, pengejaran dan penghasutan untuk membatasi gerakan HAM dan Demokrasi di Tanah Papua. Ini dapat terlihat dalam beberapa kasus terakhir ini, seperti Filip Karma, Yusak Pakage, Selfius Bobi dan Kawan-kawan, Buktar Tabuni, Seby Sambon dan Kawan, Musa, Diaz, Yance MTE. Dimana juga kedatangan TNI dan Polisi ke Papua yang terus meningkat, baik pasukan organik maupun non-organik dengan diberengi oleh penambahan kodam-kodam baru di Papua dengan alasan pengamanan. Yang paling parah lagi semua berjalan dalam Otsus yang tidak jelas yang berbagai pemekaran wilayah, 3 (tiga) kodam di Papua dan kepulangan pengungsii dari PNG. Kepulangan pengungsi dari PNG tidak melalui prosedur Hukum Internasional, terutama pengunsi Tahun 1984 yang diserahkan oleh PBB melalui UNHCR di Isawen kepada Pemerintah PNG pada tahun 1992 yang nasibnya tidak jelas sampai sekarang.

Pengamanan ini juga berdimensi kepada pengurasan SDA, baik logam dan non logam dari Alam Papua sehingga ketika rakyat yang memiliki hak ulayatnya akan berbenturan dengan aparat keamanan yang menyebabkan pelanggaran HAM, baik ringan dan berat. Dimana bentuk-bentuknya adalah Perampasan Tanah, Pencurian kayu (Ilegal Loging), Pencurian Ikan (Ilegal Fishing), Pencurian Tambang. Seperti yang sudah dilakukan oleh PT. Freeport, BP LNG Tangguh di Bintuni,dan lain-lain. Penambangan liar lainnya seperti di Degewo, Paniai yang dibiarkan(by omission) oleh Negara yang turut melibatkan kepentingan militer, polisi dan pejabat-pejabat tinggi di Pusat dan Daerah.

Pemerintah tidak mampu memberdayakan orang asli Papua yang malah sistem ekonomi dikuasai oleh orang non-Papua yang mengakibatkan proses diskriminasi semakin meningkat pada tatanan kehidupan rakyat Papua apalagi 72,72% rakyat Papua hidup dibawa garis kemiskinan. Sungguh kejamnya Negara atas hak hidup rakyat Papua, seakan rakyat Papua tidak memiliki nilai kemanusiaan, seakan rakyat Papua bukan manusia yang hak hidupnya harus diperhatikan. Penyempitan ruang pangan lokal asli papua, sehingga masyarakat mengalami ketergantungan dengan beras raskin yang gizinya sangat rendah. Ini adalah kelalaian Pemerintah untuk membengun pertanian, pekebunan dan perikanan yang baik bagi masyarakat papua. Maka terjadi krisis pangan di Tanah Papua.

Berdasarkan hal-hal di atas , kami yang tergabung dalam Solidaritas Korban Pelanggaran HAM Papua, 10 Desember 2009 menuntut dan mendesak :

1. Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations) segera mengeluarkan Resolusi dari Komisii HAM (Human Rights Comission); Komisi Masyarakat Pribumi (Ingenous People Comission) dan Badan Pengunsi Dunia ( UNHRC ) dan Badan-Badan Dunia lainnya sebagai proses rekonstruksi yang berdimensi kemanusian, baik di Papua dan Di luar negeri akibat rekonstruksi politik Papua dimasa lalu, sekarang dan yang akan datang;

2. Alam dan Manusia Papua adalah proses rekonstruksi politik dimasa lalu yang mengorbankan Rakyat Papua sebagai proses integrasi pendidikan, bukan integrasi politik yang melahirkan pelarian politik, pengungsian, genosida, berbagai stigmanisasi, seperti surversif, separatis, makar dan pemerasan SDA harus dihentikan.

3. Negara – Negara dan Perusahaan – Perusahaan Multi Nasional Cooperations yang terlibat dengan rekonstruksi politik papua dimasa lalu harus bertanggung jawab terhadap Alam dan Manusia Papua sebagai proses rekonstruksi kemanusiaan bagi Rakayat Papua sebagai Korban Pelanggaran HAM;


4. Masyarakat internasional harus memperhatikan nasib korban pelanggaran HAM Papua, sebagai proses rekonstruksi yang berdimensi kemanusian, terutama bagi Korban-Korban Pelanggaran HAM.

5. Meninjau kembali semua kebijakan Negara Indonesia dalam membangun rakyat papua, terutama kebijakan eksplotasi Sumber Daya Alam, dan menghentikan pemekaran ( Propinsi, Kota, Kabupaten ) dan Rencana Pembentukan Kodam.


6. DPR Papua dan Gubernur Papua segera menghentikan semua investasi yang merugikan dan menghilangkan hak-hak masyarakat Adat;

7. Mendesak kepada Gubernur, DPR dan Polda Papua, baik di Propinsi Papua dan Propinsi Papua Barat untuk mendorong evaluasi resmi atas kebijakan keamanan di Tanah Papua dan merasionalisasikan jumlah Pasukan Organik dan Non-Organik;


8. DPRP- Papua segera membuat Perdasi dan Perdasus untuk memenuhi Hak – hak korban Pelanggaran HAM Papua sebagai kewajiban negara;

9. DPR Papua Mendesak kepada Pemerintah Pusat untuk membebaskan seluruh Tahanan Politik Papua dan membuat Tim Ad Hoc guna menyelidiki dan tuntaskan kasus-kasus kekerasan dan diskriminasi terhadap Tahanan Politik Papua di seluruh Indonesia;


10. Pemerintah Pusat dan Daerah segera mempersiapkan infrastruktur (fasilitas kesehatan) dan serius melaksanakan Kesehatan Gratis; Pendidikan Gratis untuk memajukan dan meningkatkan produktivitas nilai – nilai budaya Rakyat Papua;

11. Pemerintah Propinsi Papua dan DPRP Papua segera membuat Pasar Tradisional bagi Pedangang Asli Papua sebagai bentuk nyata peningkatan Ekonomi rakyat.

Demikian Pernyataan Sikap Kami, Solidaritas Korban Pelanggaran HAM Papua.

SYUKUR BAGIMU TUHAN...!
KAU BERIKAN TANAHKU, BERI AKU RAJIN JUGA, SAMPAIKAN MAKSUDMU
SELAMAT BERJUANG UNTUK RAKYATMU YANG TERTINDAS.

Jayapura, 10 Desember 2009
HARI HAM SE – DUNIA
Koordinator Umum


PENEAS LOKBERE.

Aksi Demo Damai yang didorong oleh Solidaritas Korban Pelanggaran HAM Papu ini pada awalnya Masa dari Sentani, Waena dan Abepura sekitarnya kumpul di depan Auditorium Uncen Abepura, dan Koorlap mengarahkan massa aksi menuju ke Lingkaran Abepura, dengan tertib sambil memegang spanduk, pamplet yang dituliskan (Hentikan bisnis di Papua, Kalapas Abepura bertanggung jawab atas pemukulan Bucthar Tabuni, Otsus Suanggi Elit Papua, Stop penambahan pasukan organik dan non organik di tanah Papua, Hentikan diskriminasi terhadap TAPOL Papua, Negara bertanggung jawab atas seluruh Korban Pelanggaran HAM di Papua dan juga membawa sejumlah foto-foto korban.
Massa bergerak dari Audotorium Uncen ke Lingkarang Abepura membuat perhatian publik juga sempat di hadang oleh aparat Kepolisian di depan kantor Pos Abepura, namun atas dukungan tim PBI dan negosiasi yang telah membangun, maka Kapolsek Abepura langsung turun tangan dan memerintahkan pasukannya dan ijinkan massa terus berjalan menuju bundaran lingkaran Abepura. Sekitar pukul 11:25 WP. Setelah berkumpul di lingkaran Abepura, Korlap memberikan kesempatan kepada perwakilan organisasi untuk menyampaikan pesan orasinya dengan bergantian.
Pada pukul 11:45 WP, pembacaan Statmen oleh Penanggung Jawab Aksi, Peneas Lokbere, dalam bentuk Press Release Bersama. Dan terakhir ditutup dengan doa oleh Kelly Peday, dan massa aksi diarahkan ke lapangan yuso depan SMU N.I Abepura untuk makan bersama.
Beberapa lembaga LSM HAM, Organisasi Mahasiswa dan Organisasi gerakan, yakni KontraS Papua; SKP Keuskupan Jayapura; KPKC Sinode GKI; PBHI dan Jubi, BUK ( Bersatu Untuk Kebenaran) dan IKOHIK2N P2a ( Ikatan Keluarga Orang Hilamg dan Korban Kejahatan Negara di Papua ) DKR ( Dewan Kesehatan Rakyat); UKM Dehaling Uncen ( Unit Kerja Mahasiswa Demokrasi, HAM dan Lingkungan Hidup ) Universitas Cenderwasih; BPM Fakultas Hukum Uncen; Senat USTJ; Senat STFT; PMKRI dan AMPTPI dengan Subthema “Tragedi Kekerasan Kemanusiaan di Tanah Papua.”
Pada pukul 15:30 WP, dilanjutkan acara diskusi Ilimiah dan pameran foto-foto korban bertempat di lapangan Yuso Jalan Biak Abepura. Dalam diskusi ini ada beberapa narasumber yang memandu jalannya diskusi yakni: Matius Murib, dari Komnas Perwakilan Papua dengan inti Poin sebagai berikut: Prinsip HAM, Kondisi HAM di Papua, Proses hukum terhadap kasus Wasior dan Wamena dan kasus pemukulan terhadap Bucthar Tabuni di LP Abepura. Peneas Lokbere, Koordinator BUK, Shiering pengalaman kasus Abepura dan perkembangan para korban Pelanggaran HAM di Papua Hendrik Sorondanja (Garda-P) dengan inti poin: Sejarah jangan kita lupakan, Perjuangan korban adalah bagian dari perjuangan rakyat Papua, oleh karena itu BUK harus didorong dan dukungan harus kuat.
Diskusi ilmiah ini merupakan kesadaran dan pendidikan bagi semua Asrama Mahasiswa dan elemen gerakan bahwa perjuangan korban adalah juga bagian dari perjuangan rakyat Papua, oleh karenanya kedepan sejarah dan dokumen-dokumen menjadi tanggung jawab kita bersama sebagai negerasi muda yang bermoral dan bermartabat. Terakhir dalam diskusi tersebut juga merupakan prakondisi untuk kegiatan hari HAM sedunia 10 Desember 2009.
Rencana sebelumnya ada agenda pemuraran Film Dokumenter Abepura dan dilanjutkan dengan diskusi namun, Pemutaran Film tidak di ijinkan oleh Kapolsek Abepura, (Yafet. Karafir) dengan alasan penghasutan dan tidak dapat dilaksanakan. (BUK)
SOLIDARITAS KORBAN PELANGGARAN HAM PAPUA
(BUK, IKOHIK2N- P2a, KontraS Papua, Foker LSM, SKP Jayapura, KPKC Sinode AM GKI, UKM Dehaling Uncen, BPM Fakultas Hukum Uncen, PMKRI, AMPTPI, Pront Pepera, Garda-P, Parjal, Asrama Ninmin, dan Asrama Nabire)

Pres Release
“TRAGEDI PELANGGARAN HAM DI PAPUA”

Dalam rangka peringatan 9 tahun kasus Abepura pada 7 Desember 2000, telah melakukan kampanye publik oleh Solidaritas Korban Pelanggaran HAM Papua melakukan aksi damai sebagai momentum bersama untuk menyuarakan kasus-kasus pelanggaran HAM lainnya di Papua yang hingga kini proses hukumnya tidak jelas. Banyak kendala dalam kebijakan dan implementasinya bagi perlindungan, penghormatan, dan kemajuan HAM di Papua.

Kasus Abepura 7 Desember 2000 merupakan salah satu bentuk kekerasan Kemanusiaan yang paling brutal dan tak berperikemanusiaan yang dilakukan oleh Aparat Kepolisian (BRIMOB) selepas penyerangan Polsek Abepura dan pembakaran Ruko didaerah Lingkaran Abe oleh orang tak dikenal dengan menggunakan atribut-atribut yang lazim digunakan oleh masyarakat Papua khususnya yang berdomisili di daerah Pegunungan tengah Papua. Pemakaian atribut kelompok-kelompok masyarakat tersebut kemudian melegitimasi Aparat keamanan untuk melakukan penyisiran ke beberapa asrama Mahasiswa dan beberapa lokasi pemukiman masyarakat Pegunungan Tengah Papua.

Tanpa melalui prosedur hukum misalnya penyelidikan dan mencari tersangka pelaku utama, jajaran kepolisian dalam hal ini BRIMOB langsung mengadakan penysisiran, penangkapan sewenang-wenang, penyiksaan, pembunuhan kilat, penahanan tanpa melalui prosedur hukum dan kematian dalam tahanan. Perbuatan aparat Kepolisian tersebut menimbulkan korban sebanyak 105 orang. Dari jumlah tersebut, 3 orang meninggal dunia pada saat kejadian akibat peniksaan dan satu orang penembakan kilat pada waktu penyisiran.


Sesuai dengan UU No 26/2000 tentang pengadilan HAM, maka kasus Abepura masuk dalam kategori Pelanggaran HAM Berat, dan telah di sidangkan di Makassar pada tahun 2005 dengan dua terdakwa utama yaitu: Komisaris Polisi Daud Sihombing dan Kepala BRIMOB Papua, Johny Wainal Usman.


Namun proses pengadilan kasus Pelanggaran HAM Abepura hanyalah sandiwara politik hukum saja karena ternyata hukum tak mampu menjerat kedua tersangka utama tersebut bahkan dengan hukuman ringan sekalipun. Yang terjadi adalah membebaskan kedua tersangka dalam keputusan sidang tertanggal 8-9 November 2005. Para pelaku kejahatan kemanusiaan tersebut bebas melenggang keluar dari pengadilan dan mendapat impunitas hukum dengan mendapat promosi ke jabatan yang lebih tinggi di jajaran Kepolisian.

Para korban Kasus Abepura justru tidak diakui sebagai korbon, tidak diakui sebgai korban serta samapi sekarang Negara tidak memberikan pemulihan nama baik terhadap korban dan tidak memberikan reparasi bagi korban

Dari proses hukum tersebut ada indikasi stigmatisasi terhadap masyarakat tertentu untuk melegalkan kekerasan aparatus Negara terhadap warga sipil. Kemudian indikasi kedua adalah bahwa Kasus Abepura yang dimulai dengan proses penyerangan terhadap Polsek Abepura sebenarnya adalah sandiwara aparat keamanan yang mengarah pada bisnis militer dengan tujuan memperbesar kucuran dana operasional aparat keamanan.

Kedua kesimpulan diatas bisa diambil karena selepas persidangan kasus Abepura tersebut, kedua tersangka utama justru mendapat promosi kenaikan jabatan padahal keduaanya adalah pelaku utama kejahatan HAM di Papua.

Melihat proses hukum seperti ini, rakyat Papua tidak bisa berharap banyak bahwa mereka akan mendapatkan keadilan di NKRI yang katanya adalah Negara Hukum karena hukum ternyata hanya milik aparatus Negara saja bukan milik rakyat.

Wajah proses peradilan yang carut marut dan ketidpastian pemenuhan rasa keadilan terhadap para korban Pelanggaran HAM Papua justru terus membuat kecewa dan ketidakpercayaan terhadap proses hukum semakin beranak pinak dan kemudian memunculkan rasa apatis terhadap proteksi Negara terhadap hak tiap individu warga negaranya. Karena nilai-nilai Hak Asasi Manusia dan Demokrasi dianggap sebagai ancaman terhadap kedaulatan Negara, sehingga kelompok yang berkuasa justriu sengaja menciptakan dan menjaga budaya konflik.

Bahkan sampai saat ini pola-pola kekerasan di Tanah Papua semakin meningkat, pemerintah masih menggunakan pola-pola yang sistematis dalam menutup ruang-ruang demokrasi dengan melakukan penangkapan terhadap aktivis Demokrasi yang di stigmanisasi dengan separatis dan dikenakan pasal makar,

Isu penambahan KODAM baru di Papua merupakan bentuk ketidakmampuan pemerintah dalam menangani keamanan yang melibatkan seluruh rakyat papua, melainkan masih menggunakan kekuatan perang dalam menangggapi isu-isu politik yang lebih menekankan penegakan demokrasi yang utuh. Rakyat papua terutama korban pelanggaran HAM akan semakin trauma yang akan menimbulkan ketidakpercayaan terhadap pemerintah Pusat.

Banyak kasus Pelanggaran HAM yang terjadi di Papua yang masih menunggu giliran untuk diproses di pengadilan tinggi yaitu kasus Wasior dan Wamena Berdarah. Kedua kasus ini masih tarik ulur oleh Kejaksaan Agugn dan Komnas HAM Jakarta. Kasus hilangnya Aristoteles Masoka dan Pembunuhan Opinus Tabuni sampai sekarang tidak ada keseriusan dari pihak pemerintah yang terkait untuk menyelesaikannya.

Kegiatan ini bertujuan untuk membangun budaya berdemokrasi demi membangun budaya demokrasi yang saling menghargai, menghormati hak-hak asasi manusia demi terciptanya rasa penghormatan, perlindungan harkat dan martabat manusia Papua. Hak-hak yang dimaksud diantaranya adalah: hak untuk mengetahui, hak atas keadilan, hak atas reparasi dan jaminan kemanan dan tak terulangnya tiindakan represif aparat keamanan Negara.
Untuk itu, kami yang tergabung dalam Solidaritas Korban Pelanggaran HAM Papua dalam rangka memperingati 9 tahun Kasus Abepura menuntut:

  1. MENDESAK KEPADA PEMERINTAH UNTUK PENUHI HAK-HAK KORBAN
  2. MENDESAK KEPADA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNTUK SEGERA MENYELESAIKAN KASUS PELANGGARAN HAM BERAT WASIOR DAN WAMENA, KARENA PROSES HUKUM MASIH TIDAK JELAS DI KEJAKSAAN AGUNG DAN KOMNAS HAM JAKARTA.
  3. MENDESAK KEPADA GUBERNUR PAPUA, DPRP DAN MRP UNTUK MENDORONG EVALUSI RESMI ATAS KEBIJAKAN KEAMANAN DI PAPUA DAN MENOLAK PASUKAN ORGANIK DAN ORGANIK SERTA RASIONALISASI JUMLAH TNI/POLRI DI TANAH PAPUA
  4. MENDESAK KEPADA GUBERNUR PAPUA, DPRP DSAN POLDA PAPUA UNTUK SEGERA MENYELESAIKAN KASUS ARISTOTELES MASOKA
  5. MENDESAK KEPADA MENTERI HUKUM DAN HAM UNTUK MEMBUAT TIM GUNA MENYELIDIKI DAN TUNTASKAN KASUS PEMUKULAN BUKTAR TABUNI DAN TERJADI DISKRIMINASI TERHADAP TAPOL LAINNYA
  6. MENDESAK KEPADA KAPOLDA PAPUA UNTUK SEGERA MENINDAK LANJUTI PROSES HUKUM ATAS KASUS OPINUS TABUNI
  7. MENOLAK DENGAN TEGAS, PEMBENTUKAN KODAM DI TANAH PAPUA
  8. SEGERA MEMBENTUK PENGADILAN HAM DI PAPUA
Adapun yang menjadi pernyataan sikap dalam kampanye peringatan tahun ini adalah:

Jayapura, 7 Desember 2009
Hormat Kami,

Peneas Lokbere
Koordinator Umum
(085244403366)

Kronologi Kasus Pelanggaran HAM Berat Abepura

7 Desember 2000 Sekitar Pukul 01.30 Wit: Terjadi penyerangan massa terhadap mapolsekta Abepurayang mengakibatkan seorang polisi meninggal dunia )BribkaPetrus Eppa), dan 3 orang lainnya luka-luka. Disertai pembakaran ruko yang berjarak 100 meter dari mapolsek. Terjadi juga penyerangan dan pembunuhan satpam di kantor Dinas Otonomi Kotaraja.

7 Desemer 2000, sekitar pukul 02.30: Pasca penyerangan massa ke Mapolsek Abepura, Kapolres jayapura AKBP Drs. Daud sihombing, SH setelah menelpon Kapolda Brigjen Pol Drs. Moersoertidarno Moerhadi D. langsung melaksanakan perintah operasi untuk pengejaran dan penyekatan ke tiga asrama mahasiswa dan tiga pemingkiman penduduk sipil. Di Asrama Ninmin satuan Mbrimob melakukan pengrusakan,pemindahan paksa (Involuntary displace persons), ancaman, makian, pemukulan dan pengambilan hak milik (rigthto property)mahasiswa. Di asrama mahasiswa. Di asrama Waropen Yapen Waropen satu mahasiswa terserempet peluruh. Yang lainnya dipukul, ditendang, dan diolempar kedalam truk untuk di bawa ke mapolsek. Begitu pula penjiksaan dan penagkapan terjadi di asrama IMI (ikatan mahasiswa Ilaga), penagkapan dan penyiksaan (Persecution) berulang-ulang terjadi juga di pemingkuman penduduk sipil kampung Wamena di Abepantai dan suku lani asal Mamberamo di kota raja dan suku yali di skyline. Telah terjadi pembunuhan kilat(Summary Killing)oleh anggota mbrimib , Elkius Suhuniap,di skyline. Dan telah terjadi krmatian dalam tahanan Polres Jayapura (dead in custody) akibat penyiksaan (torture) terhadap Jhoni karunggu dan Orry Dronggi

Pebruari 2001: Komnas HAM membentuk KPP HAM Abepura, dalam KPP HAM; peristiwa pengejaran dan penangkapan itu telah terjadi tindakan pelanggaran kemanusiaan

28 Maret 2002: Pelimpahan berkas KPP HAM Papua/irian jaya dan Tim Tinjak Lanjut KPP HAM Papua/Irian Jaya

31 Maret 2002: Kejagung mengirim 20 anggota untuk melakukan penyelidikan di Papua, yang dipimpin staf ahli Jaksa agung, Umar.

7 Desember 2002: Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Kasus Abepura membuat pernyataan sikap tentang proses penyilidikan Kejaksaan Agung Terhadap Insiden Traumatis Abepura 7 desember 2000.

13 November 2002: Jaksa Agung MA Rachman dengan komisi II DPR hanya menetapkan dua pelaku yaitu Komisaris Besar Polisi Drs, Johny Wainal Usman sebagai komandan satuan Brimob Polda Irian Jaya (Waktu Itu) dan ajun Komisaris Besar Polisi Drs. Daud Sihombing Sebagai pengendali dan pelaksana perintah operasi.

31 Desember 2002: Koalisi masyarakat sipil untuk kasus abepura membuat pernyataan sikap berjudul; “penyelidikan kejagu memangkas temuan jumlah pelaku pelanggaranHAM berat Abepura.

Awal 2003: Tiga (3) orang korban dari jalan bau, kota raja meninggal. Mereka adalah Epenus Kogoya, Temandor Kogoya dan Roby Wenda.

17 Februari 2003: Kejagung telah menyelesaikan berkas kasus pelanggaran Ham berat Abepura papua. Jaksa Agung RI mengumumkan bahwa penyelidikan yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung telah lengkap. Disamping itu, jaksa Agung juga menyatakan bahawa mantan Kapolresta Jayapura AKBP Drs. Daud Sihombing Mantan Komandan Satgas Brimob Polda Papua Kombes Johny Wainal Usman menjadi tersangka dalam kasus Abepura.

1 Sebtember 2003: Komunitas korban abepura menulis Surat permohonan terhadap jaksa Agung R.I, M.A Rahman agar tim penyidik pelanggaran berat mengeluarkan surat dakwaan yangmencantumkan tuntutan atas kerugianmateril dan immaterial yang dialami dan harus diganti, khususnya oleh POLRI.

Oktober 2003: Jaksa agung mengumumkan telah menujukkan 6 orang jaksa untuk menangani kasus abepura.

3 Sebtember 2003: Jaksa agung M.a rahman, akhirnya melantik 6 Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kasus Pelanggaran Berat Abepura Papua di Jakarta.Keenam JPU HAM itu sebagian besar dari Kejaksaan Tinggi (kejati) Sulawesi Selatan (Sulse) dan hanya 2 yang berasal dari kejaksaan agung (Kejagung).

31 Maret 2004. pukul 11.20.Wita: Pelimpahan kasus dari Jaksa Penuntu Umum ke pengadilan HAM Makassar.

Siang, 31 Maret 2004: paska penyerahan berkas, koalisi masyarakat sipil untuk kasus abepura melakukan koverensi pers di restaurant New york Chicken Makassar. Mereka melancarkan protes lantaran kedua tahanan tidak ditahan, dan perlindungan terhadap saksi tidak jelas.

8 april 2004: PBHI melayangkan surat kepada Kapolri Jendral polisi bachtiar. Dalam surat tersebut mempertanyakanpenanganan kasus Abepura yang terkesan terlarut-larut dan tak ada kepastian.

13 April 2004: Akibat ketidakmampuan Arnold Mundu Soklayo (sala satu korban) membiayai kelumpuhan yang di deritanya sehingga meninggal dunia.

13 April 2004: Ketua Pengadilan negeri Makassar yang sekaligus ketua pengadilam HAM, H andi Haedar, SH akhirnya menetapkan majelis hakim yang akan menyidangkan kasus pelanggaran HAM Berat Abepura. Majelis hakim tersebut antara lain; Jalaluddin,SH (Hakim Ketua), EddyWibisono, SE; SH; MH, (Anggota),Heru Susanto,SH. Mhum (Hakim Ad Hoc, Anggota), AmiruddinBuraera, SH. ( Hakim AD Hoc, Anggota), Dan HM Kabul Supriadi, SH. MH (Hakim Ad Hoc, Anggota). Sedangkan Hakim cadangan adalah Rocky Panjaitan, SH dan Herman Heller Hutapea, SH.


13 April 2004: Ketua Pengadilan Negeri Makassar yang sekaligus ketua pengadilan HAM, H. Andi Headar,SH, akhirnya menetapkan majelis hakim yang akan menyidangkan kasus pelanggaran HAM Berat Abepura. Majels hakim tersebut antara lain; Jalaluddin, SH (Hakim Ketua, Eddy Wbisono,SE., SH. MH (Anggota), Heru Susanto, SH. Mhum,Hakim Ad Hoc, Anggota), Amiruddin Buraera, SH. (Hakim AD Hoc, Anggota) dan HM. Kabul Supriadi, SH.MH (Hakim Ad Hoc, Anggota). Sedangkan hakim cadangan adalah Rokcy Panjaitan, SH dan Herman Heller Hutapea, SH.

7 Mei 2004: Digelar sidang perkara Abepura di Makassar . persidangan perdana ini mendengarkan dakwaan Jaksa penuntut Umum. Untuk trdakwa (Pol) Johny Wainal Usmanpukul 09.48 Wita, siding diketuai oleh Jalaludin, SH. Dengan tim JPU; Kol CHK. Aris sudjarwadi (komandan Oditur Militer III-16), Heriyanti , SH . dan H. Abdul Ruf Kinu, SH. (pengkasi Kejati Sulsel). Setelah membacaan dakwaan, sekitar 5 menit kemudian dilanjutkan denganTerdakwa Kombes (Pol) Daud Sihombing disidangkan terpissa(displit) dengan majelis hakim yang sama ketua Eddy Wibisono dan ti JPU terdakwa; H. Burhanuddin Achmad, SH. (Jaksa Senior pada Aswas kejati Sulsel), Letkol Sus Banbang Ariwibowo (Kepala Oditur Militer III-17 Manado), Hj.Nurni Farahyanti Lukman, SH.MH. Dan TonagMadjid, SH (Kepala Kejari Soppeng). Dalam dakwaan Jaksa , kedua Perwira Polisi ini drjerat dengan dakwaan dan pasal penggaran HAM berat secara berlapis. Pun keduanya mendapat ancaman hukuman maksimal seumur hidup.

7 Mei 2004: Gugata Class Action Korban Pelanggaran HAM Abepura dimasukkan dan akan digelar dalam sidang penggabungandengan siding pidana.

24 Mei 2004: Berlangsung siding II dengan agenda pembacaan eksepsi. Menurut Tim Penasehat Hukum(TPH) terdakwa, banyak gugatan yang kabur.

31 Mei 2004: Sidang III kasus dengan agenda menedengarkan tanggapan JPU ad hoc atas eksepsi (keberata) Tim Penasehat Hukum terdakwa. JPU membanta TPH; bahwa dakwa telah sesuai dengan KUHAP.

6 Juni 2004: Tim Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Kasus Abepura mengeluarkan statemen “Korban Abepura 7 Desember 2000 Menggugat Hak Reparasi di Pengadilan HAM Tetap Di Makassar.”

7 Juni 2004: Sidang pertama gugatan class action oelh Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Kasus Abepura dengan tergugat dua perwira polri di pengadilan negeri/HAM Makassar. Dalam Gugatannya, kuasa hukum para penggugat meminta agar kedua tergugat membayar ganti kerugian kepada para penggugat (wakil kelas). Namun Majeli Hakim menyatakan class action yang diajukan koerban pelanggaran HAM Abepura tidak dapat diterima. Pertimbangan Hakim, gugatan pengabungan itutidak diatur secara khusus dalam UU No. 26 Tahun 2000; dimana kewenanga pengadilan HAM adalah berdiri sendiri.

8 Juni 2004: Korban pelanggaran HAM Abepuramengajukan upaya banding setelah gugatan ganti rugi yang diajukan di pengadilan HAM Makassar oleh Majelis Hakim dinyatakan tidak dapat diterima. Pernyataan banding kuasa hukum korban diterima oleh petugas kepaniteraan pidana PN Makassar,M. Ilyas.

9 Juni 2004: Tim Masyarakat sipil untuk kasus abepura melakukan siaran pers tentang penetapan pengadilan HAM Mkassar atas penggabungan Gugatan Ganti Rugi Kerugian korban Peristiwa Abepura.

14 Juni 2004: Putusan sela dibacakan pada pengadilan lanjutan di pengadilan HAM Makassar.
Majelis hakim ad hoc menyatakan eksepsi yang di ajukan TPH terdakwa tidak beralasan hukum. Majelis Hakim juga memandang keberatan TPH terhadap dakwaan jaksa harus di tolak dan ditangguhkan.

15 Juni 2004: Tim Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Kasus Abepura memberi keterangan pers berkaitan dengan Perlindungan Korban Abepura.

28 Juni 2004: Sidang pengadilan lanjutan di PN Makassar. Dalam siding tersebut,Tim JPU, H. Rauf Kinu, SH. Mengajukan beberapa saksi.

12 Juli 2004: Sidang lanjutan kasus pelanggaran HAM Abepura dengan mendengarkan keterangan saksi. Dalam persidingan tersebut, terdakwa Kombes (Pol) Daud Sihombing manuding saksi korban Peneas Lokbere (24) memberikan keterangan bohong. Selain itu, ia mempertanyakan keabsahan foto hasil penyiksaan yang diperlihatkan Jaksa Barhanuddin di hadapan Hakim Edy.

19 Juli 2004: Sidang lanjutan kasus Abepura. Amion Karunggu, Saksi dari pihak korban, diminta untuk ditahan oleh Denny Kailimang, SH. TPH Terdakwa Brijen (Pol) Drs. Johny Wainal Usman. Pasalnya, Denny Kailimang menilai saksi terlalu berbeli-belit dalam memberikan keterangan dan selalu berubah-ubah. Namun Hakim Ketua Jalaluddin tidak mengabulkannya. Selain itu, saksi korban, Matias Heluka memprotes tindakan PH terdakwa.

26 Juli 2004: Sidang lanjutan kasus pelanggaran HAM Abepura masi dengan agenda mendengarkan keterangan saksi korban.

3 Agustus 2004: Sidang lanjutan kasus pelanggaran HAM Abepura, PH terdakwa menuding saksi Timotius Wakerkwa berbohong.

16 Agustus 2004: Sidang lanjutan kasus pelanggaran HAM Abepura. Dalam persidangan kali ini dihadirkan tiga orang saksi. Keterangan salah satu saksi, Manase Ara yang juga ketua RT, menyatakan bahwa tidak ada mahasiswa yang terlibat dalam OPM.

30 Agustus 2004: Sidang lanjutan kasus pelanggaran HAM Abepura. JPU menghadirkan lima orang saksi. Diantaranya yakni Alex Koba, mantan kapolsek Abepura dan seorang anggotanya Mesak Keroni. Ketua Majelis Hakim Menegur supaya tidak berandai-andai dan berumpama dalam memberikan kesaksian.

6 September 2004: Sidang lanjutan kasus pelanggaran HAM Abepura.

13 Mei 2005: Sidang lanjutan kasus pelanggaran HAM Abepura dengan agenda pemeriksaan terdakwa.

1 September 2005: Sekitar 150 orang dari berbagai elemen mengikuti orasi kemanusiaan di Bundaran HI Jakarta. Acara yang dimotoro oleh Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Kasus Abepura menyerukan agar terdakwa kasus pelanggaran HAM itu dijatuhi hukuman seberat-beratnya.

8 Sebtember 2005: Majelis Ad Hoc HAM kasus Abepura di Makassar memponis bebas Brigadir Jenderal (Bridjen) Polisi Johny Wainal Usman (49). Majelis yang diketuai jalaluddin menyatakan Johny tidak terbukti secara sah bersalah melakukan pelanggaran HAM Berat di Abepura, Papua.

9 September 2005: Majelis Ad Hoc HAM kasus Abepura di Makassar memponis bebas Kombes Polisi Drs. Daud Sihombing, SH. (47) Majelis yang menyatakan Daud tidak terbukti secarah sahbersalah melakukan pelanggaran HAM di Abepura, Papua.

9 Sebtember 2005: Perhimpunan Bantuan Hukum Dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) menedesak Kejaksaan Agung segerah melakukan proses kasasi ke Mahkama Agung sehubungan keputusan bebas para terdakwa kasus pelanggaran HAAM berat di Abepura. Koodinator Ekternal PBHI, Henry T. Simarmata menyatakan petimbangan yang dipakai dalam keputusan hakim menunjukkan bahwa pemahaman dan pengetahuan hakim terkesan mengunakan prinsip klonial yang jau dari rasa keadilan korban.

22 Sebtember 2005: Berlangsung aksi solidaritas nasional untuk kasus Abepura (SNUKA) di Papua. Komite aksi ini terdiri dari LBH Papua,ALDP, SKP Keuskupan Jayapura,JPIC Sinode GKI, KONTRS Papua, ELSHAM Papua, Dewan Adat Papua, LPDAP, STT GKI, STFT Fajar Timut, AMPTPI, AMP, HMI, Jayapura,PMKRI Jayapura, GMKI Jayapura, Parlemen Jalanan, Tim Kemanusiaan Papua, Komunitas Survivor Abepura, Solidaritas Perempuan Papua, LP3A-P, IMM Jayapura, Front Pembebasan Penindasan Papua, Asrama Ninmin, FNMP, dan DEMMAK

(Papua On Trial)




Profil of BUK



BERSATU UNTUK KEBENARAN
United For The Truth
Alamat: Jl.Raya Sentani No.67B Padangbulan Abepura
Jayapura-Papua- Indonesia.
Telpon (0967)58816,Email:buk_papua@yahoo.co.id

Slide 2

About Us:

Bersatu Untuk Kebenaran (BUK), United for Truth is a non profit organisation set up as a platform that will focus on Papuan survivors in order to organize, strengthen and empower victims and relatives of victims to strive for truth, justice and reparation based on the moral and legal responsibility of the State of Indonesia.

By dint of suffering, of facing arbitrary walls, of watching court law giving immunity to perpetrators, this has given strength to the Papuan survivors and relatives of victims to continue organising themselves and to develop peaceful strategies in order to obtain truth, justice and recognition of their rights

BUK has been inspired by the experience gained in the struggle for justice in the Abepura Case, 7 December 2000, where perpetrators have been simply released by the Human Rights Court of Makassar on 8-9 September 2005 and has also learned from the “do-nothing policy” of Indonesia legal system in solving cases of human rights violations that occurred in Papua.

BUK was set up on 27 March 2008 in Biak, in Papua, in a forum for Papuan survivors facilitated by the following organisations:

  • Debora and Bara (DEBAR)
  • Perhimpunan Bantuan Hukum & Hak Asasi Manusia (PBHI)
  • Foker NGOs Papua
  • Kontras Papua

Survivors who attended this forum belong to some of the major cases of serious human rights crimes that occurred in Papua:

  • Wamena upheavals in 1977.
  • Biak, Bloody Case on 6 July 1998
  • Abepura Case on 7 December 2000
  • Wasior Case on 13 June 2001
  • Pornumbay Case on 11 November 2001 (the abduction and murder of Theys H.Eluay and the disappearance of this driver, Aristoteles Masoka)
  • Wamena Case on 4 April 2003, and the Abepura Case on March 16, 2006.

This platform legally registered, is one of the first grass-roots organizations in Papua, which does focus on victims of State violence and operates from Jayapura as network’s core upon five branches called “pos kontak” which are: Komunitas Survivor Abepura; Komunitas Korban Biak; Komunitas Korban Wamena; Komunitas Korban Wasior and Komunitas Korban Timika;.

Our Programs:

BUK runs capacity building programs for communities of survivors and raises awareness to the public by organising peaceful campaigns and ceremonies to commemorate gross human rights cases and celebrate Internasional human rights day.

BUK does lobby and advocacy to local, National and International stakeholders and build up a communication network with other local NGOs

BUK gather and disseminate documentation of cases of human rights violation in Papua.

These programs aim at:

  1. Building up solidarity among victims of State violence.
  2. Providing legal recognition and reparation for the victims of State violence
  3. Empowering victims to become human rights defenders.
  4. Bringing perpetrators in front of the Law.
  5. Keeping record of human rights crimes in Papua to be used as historical material for the future generations.
  6. Linking the community of Papuan survivors with others National International survivors networks.

Our General Principals:

  1. Promote non violence and reject the use of violence of any kind and from any source.
  2. Develop and promote non-discrimination by doing no distinction of any kind such as religion,race,colour,social status,social origin,culture and other convictions.
  3. Struggle for gender equality and for respect of sexual orientation.
  4. Acknowledge the United Nations Universal Declaration of Human Rights,Declaration of human rights defenders and others International Conventions.


Organizitional Structure:

BUK Organizational structure consists of an Executive Board located in Jayapura that interact with coordinators at regional levels.

Funding:

To financially support this platform, BUK’s programs are funded by members’ contribution, donations from sympathizers and donors’ agencies.